Sejarah Pertambangan Emas Indonesia, Berkembang di Masa Penjajahan

Feb 13, 2023

Menurut CEIC Data (penyedia data, indikator, grafik, dan perkiraan ekonomi global), produksi emas di Indonesia dilaporkan sebanyak 70.000.000 kg pada Desember 2022, naik 4.000.000 kg dari tahun 2021. Berdasar data tersebut, Indonesia berada pada posisi ke-8 Negara Penghasil Emas Terbesar di dunia.

Indonesia memang kaya akan mineral, salah satunya emas. Penambangan emas di Indonesia bahkan telah dimulai sejak lebih dari seribu tahun lalu saat kedatangan imigran dari Tiongkok. Meskipun begitu, hasilnya kurang berkembang karena hanya merupakan tambang-tambang berskala kecil yang diusahakan oleh rakyat atau perorangan.

Di zaman modern, industri pertambangan emas Indonesia mulai berkembang di masa kolonialisme Belanda. Pada 1850, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kantor penyelidikan geologi, manajemen, pengelolaan dan pencarian bahan galian tambang, yaitu Dienst van hen Mijnwezen di Weltevreden, Batavia. Melalui lembaga inilah, wilayah penyelidikan geologi dan bahan galian tambang akhirnya meluas hingga seluruh pelosok Nusantara. Kemudian, di bulan Oktober 1950, dikeluarkanlah peraturan Pemerintah Kolonial No. 45, yang mengatur tentang larangan memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang, emas maupun mineral lainnya, kepada pihak selain orang Belanda.

Di masa ini, tambang emas pertama yang dibuka adalah tambang Lebong Donok, Bengkulu pada tahun 1899 dan tambang Lebong Tandai, Bengkulu pada sekitar tahun 1906-1910 yang kemudian disusul oleh pembukaan tambang-tambang lain, seperti Simau (1910), Mangani (1913), Salida (1914), Lebong Simpang (1921), dan Tambang Sawah (1923). Tambang-tambang lain yang dibuka sesudah era 1930-an, yaitu daerah Belimbing, Gunung Arum pada tahun 1935 dan daerah Bulangsi dan Muara Sipongi pada 1936. Pada 1939, produksi logam emas Indonesia total tercatat sebesar 2,5 ton, yang setengahnya berasal dari Lebong Tandai. 

Kemudian, sebagian besar tambang emas tersebut ditutup pada tahun 1939 hingga 1945, yaitu selama Perang Dunia II. Sesudah Perang Dunia II, hanya beberapa tambang yang dibuka kembali. Produksi emas sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai pertengahan tahun 1980-an pun tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Produksi total yang tercatat pada tahun 1985 hanya berjumlah sekitar 2,6 ton,

Umumnya, dari tahun 1950 sampai dengan tahun 1970-an usaha pertambangan emas hanya merehabilitasi sisa perusahaan tembang emas sebelum Perang Dunia II. Kegiatan pencarian emas pada waktu itu belum optimal karena banyak tambang dan pabrik yang mengalami kerusakan berat selama pendudukan Jepang dan selama tahun-tahun revolusi selanjutnya. Sedangkan, untuk merehabilitasi dan membangun kembali tambang tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu, undang-undang dan kebijakan pemerintah tentang emas, harga, dan lain-lain kurang mendukung pembukaan tambang emas baru.

Tambang emas sebelum Perang Dunia II yang direhabilitasi kembali oleh N.V. Perusahaan Pembangunan Pertambangan (PPP) anak perusahaan Bank Industri Negara yakni Tambang Emas Cikotok di Banten dan Logas di Riau. Sedangkan, beberapa bekas tambang lain sebelum perang diusahakan oleh rakyat dalam bentuk pertambangan rakyat, seperti di Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi Utara. 

Investasi asing di industri pertambangan emas Indonesia kemudian masuk pada tahun 1967 berdasarkan perjanjian Kontrak Karya (KK) generasi pertama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967). Kedua UU ini dikeluarkan karena pemerintah merasa industri pertambangan perlu mendapatkan dukungan modal besar sebagai upaya percepatan pembangunan. 

Hingga pada tahun 2020, Presiden Joko Widodo mewajibkan perusahaan tambang di Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh asing untuk mengurangi kepemilikan saham atau divestasi sebanyak 51 persen. Saham yang didivestasi ini lalu dialihkan ke pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, ataupun Badan Usaha Swasta Nasional. Peraturan ini tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2020.

Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Indonesia memiliki tambang emas seluas 1.181.071,52 hektar yang tersebar di 25 provinsi. Adapun lima tambang emas terbesar di Indonesia meliputi Tambang Pongkor di Jawa Barat, Tambang Grasberg di Papua, Tambang Martabe di Sumatra Utara, Tambang Gosowong di Maluku, dan Tambang Tondano di Sulawesi Utara. Kelima tambang terbesar ini, sebagian besar dikelola oleh perusahaan swasta.

BACA SELENGKAPNYA

Posting Terkait