Emas telah digunakan untuk keperluan medis sejak zaman kuno. Penggunaan emas untuk medis pertama kali dapat ditelusuri kembali di Tiongkok pada 2500 Sebelum Masehi (SM), dan digunakan secara luas oleh dokter dan ahli bedah. Misalnya, emas murni digunakan untuk mengobati bisul, cacar, dan luka di kulit serta untuk menghilangkan merkuri dari kulit dan daging. Beberapa sumber kuno juga mencatat bahwa obat dengan kandungan emas dapat menyembuhkan penyakit persendian dan penyakit paru-paru. Ada juga resep kuno yang mengandung unsur emas untuk menyembuhkan campak dan penyakit lainnya.
Di Eropa abad pertengahan, para alkemis memiliki banyak resep ramuan yang dikenal sebagai aurum potabile, dan banyak di antaranya mengandung sedikit emas. Ramuan emas dapat ditemukan di Farmakope (buku standar obat) baru di abad ke-17 dan dianjurkan oleh Nicholas Culpepper untuk pengobatan penyakit, seperti melankolis, pingsan, dan demam. Kemudian, pada abad ke-19, campuran emas klorida dan natrium klorida digunakan untuk mengobati sifilis.
Dalam sejarah modern, penggunaan emas di bidang pengobatan dimulai dengan penemuan seorang ahli bakteriologi Jerman Robert Koch pada tahun 1890 bahwa senyawa emas dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab tuberkulosis. Terapi emas untuk tuberkulosis kemudian diperkenalkan pada tahun 1920-an. Selanjutnya, dikarenakan basil tuberkel diduga sebagai agen penyebab rheumatoid arthritis, terapi emas pun diperkenalkan untuk menyembuhkan penyakit ini. Terapi emas segera terbukti tidak efektif untuk tuberkulosis tetapi, setelah perdebatan selama tiga puluh tahun, sebuah studi klinis yang disponsori oleh Empire Rheumatism Council mengonfirmasi efektivitas senyawa emas untuk mengobati rheumatoid arthritis.
Sejak saat itu, obat dengan kandungan emas juga telah digunakan untuk mengobati berbagai penyakit rematik lainnya termasuk radang sendi psoriatik, salah satu jenis radang sendi yang berhubungan dengan psoriasis, radang sendi remaja, rematik palindromik dan lupus eritematosus diskoid. Hasil yang menggembirakan juga diperoleh dari penggunaan terapi emas sebagai pengobatan berbagai bentuk peradangan kulit. Namun, karena jumlah dan tingkat keparahan efek samping yang dipicu oleh suntikan emas terus meningkat, penggunaan terapi emas sebagai pengobatan untuk rheumatoid arthritis dan kondisi peradangan lainnya sudah semakin ditinggalkan, menurut Medical News Today.
Saat ini, senyawa emas sedang diuji dan digunakan untuk mendeteksi dan mengobati beberapa jenis kanker serta untuk melawan HIV dan malaria.
Emas dan Kanker
Menurut Live Science, Deoxyribonucleic acid (DNA) kanker berikatan dengan emas. Apa pun jenis kankernya. Penemuan ini mengarahkan para peneliti untuk membuat tes yang sederhana dan cepat dengan menggunakan partikel nano emas untuk mendeteksi penyakit tersebut. Tes tersebut memberi tahu tenaga medis tentang keberadaan DNA kanker berdasarkan warna partikel emas.
Sementara itu, menurut Medical News Today, molekul berbasis emas yang baru direkayasa terindikasi lebih aman dan lebih efektif dalam memerangi kanker daripada terapi berbasis platinum yang sudah terkemuka. Sebuah penelitian oleh Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT) University di Melbourne, Australia menemukan bahwa molekul-molekul ini memperlambat pertumbuhan sel kanker prostat, payudara, serviks, melanoma, dan usus besar sebanyak 46,9%, dibandingkan dengan 29% untuk terapi berbasis platinum.
Emas dan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan telah berhasil menggunakan nanopartikel emas untuk meningkatkan penghantaran obat anti-HIV. Pada 2013, para peneliti mengatakan nanopartikel emas dengan molekul yang disebut aptamers terbukti mengurangi kemampuan HIV untuk bereproduksi dan menginfeksi sel baru. Dan, pada 2019, para ilmuwan di Fred Hutchinson Cancer Research Center sudah semakin berhasil dalam upaya menyempurnakan terapi gen yang berfungsi menghambat perkembangbiakan virus dan mencegah Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).
Emas dan Malaria
Emas adalah salah satu senjata dalam perang melawan malaria. Menurut World Gold Council, sebagian besar dari 412 juta perangkat tes malaria yang dijual pada tahun 2018 mengandung sedikit emas. Emas dalam jumlah kecil di setiap perangkat tes memungkinkan deteksi malaria yang akurat berkat sifat stabil emas.
Menurut The Guardian, partikel emas membantu menghasilkan perubahan warna—garis merah cerah—yang menunjukkan adanya malaria dalam sampel darah pasien. Dan, hasil tes ini bisa siap dalam 15 menit.