Kontrak Karya (KK), Legalitas Kerja Sama Pertambangan di Indonesia

Mei 15, 2023

Indonesia memiliki potensi cadangan mineral yang sangat tinggi. Pada masa kolonialisme, melalui Indische Mijnwet 1899, pemerintah Hindia Belanda mendeklarasikan penguasaan mereka atas mineral dan logam di Nusantara. Mereka menerbitkan larangan untuk memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang kepada pihak selain orang Belanda.

Setelah merdeka, pemerintah Indonesia segera mengambil alih dengan mengeluarkan perundang-undangan yang mewajibkan negara untuk mengatur penambangan dan eksplorasi mineral di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara gotong-royong maupun secara perseorangan. Namun, pendanaan pada sektor pertambangan membutuhkan biaya yang sangat besar, ditambah lagi sumber daya manusia Indonesia belum memiliki kemampuan yang mumpuni untuk mengelola sumber daya pertambangan dalam jumlah besar. Sehingga, pada saat itu, pengelolaan hasil tambang masih belum maksimal.

Demi pengelolaan sumber daya yang lebih baik, pemerintah Indonesia pun mengeluarkan UU No. 1 pasal 8 Tahun 1967 yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing (PMA) di wilayah Republik Indonesia atas bidang pertambangan. Dalam pasal ini disebutkan secara eksplisit bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan atas suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kontrak Karya atau yang biasa disebut KK adalah perjanjian untuk melakukan kegiatan  pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan pihak swasta yang berbadan hukum Indonesia. Pihak swasta ini bisa swasta nasional atau pihak asing yang membentuk suatu badan hukum Indonesia yang bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional. Kontrak Karya ini umumnya berlaku untuk beberapa tahun dan akan diperbarui setiap kali jangka waktu tersebut berakhir. 

Dalam Kontrak Karya, kontraktor diberi kuasa eksklusif pertambangan, tetapi tidak memiliki hak atas tanah permukaan. Prinsip kerja sama yang berlaku adalah pembagian keuntungan antara pemerintah dan kontraktor. 

Sejak Generasi I, Kontrak Karya terus mengalami perubahan setiap kali ada pembaruan kontrak. Setiap perubahan ini dijadikan dasar sebutan bagi generasi kontrak. Oleh karena itu, kita mengenal sebutan Kontrak Karya Generasi I hingga Generasi VII meskipun tidak ada perbedaan mendasar antara Generasi I dengan lainnya kecuali kewajiban keuangan pada pemerintah yang harus dipenuhi.

Kemudian, seiring perkembangan sektor pertambangan, pada 2009, diterbitkanlah Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang mencabut Undang – undang No. 11 Tahun 1967. Dan pada 2020, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tidak lagi berlaku dengan diterbitkannya Undang-undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Undang – undang terbaru ini mengganti rezim perjanjian menjadi rezim perizinan, tetapi para pemegang Kontrak Karya masih terus diakui sampai dengan berakhirnya Kontrak Karya dan dapat diperpanjang dengan menggunakan IzinUsaha Pertambangan (IUP). Perubahan undang – undang ini dimaksudkan untuk mengakomodasi amanat dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu negara tetap dapat menguasai sumber daya alam untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

Berbeda dengan Kontrak Karya yang lebih mengedepankan kepentingan investor asing, dalam mekanisme pemberian izin ini, pemerintah berada pada posisi yang lebih superior dibandingkan dengan perusahaan tambang, karenapemerintah dapat selalu menjalankan evaluasi-evaluasi terhadap kinerja daripara perusahaan tambang.

BACA SELENGKAPNYA

Posting Terkait